psikologi pendidikan dan islam


PENDIDIKAN ANAK DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM


*By Basilia Subiyanti W, S.Psi

Anak dalam Pandangan Al-Quran
Pandangan Al-Qur’an terhadap anak ada beberapa hal, yaitu : PertamaQurrata A’yun (enak dipandang/penyejuk mata) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Furqon,25:74: “ Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami dan anak keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa ” . Kedua, anak disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai zinahatau perhiasan. Allah berfirman bahwa : “ kekayaan dan anak adalah perhiasan hidup di dunia “ (Qs. Al-Kahfi, 8:46). Ketiga, Al-Qur’an menyebutkan bahwa anak bisa menjadi ‘adduww (musuh) termasuk juga dalam hal ini suami istri atau istri (Qs. At-Tghabun 64:14). Di dalam ayat ini dinyatakan bahwa sebagian istri/suami dan anak-anak ada yang menjadi musuh, karena itu dinphkaerinta untuk berhati-hati, jangan sampai menjadi musuh. Keempat, anak bisa juga menjadi fitnah. Sebagaimana disebutkan bahwa harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (Qs. Al-Anfal:28). Fitnah dalam ayat ini bukan berarti gossip, akan tetapi dalam arti bahwa harta dan anak-anak dapat menjadi sumber bencana.

Mendidik Anak Bukan Persoalan Sepele dan Biasa.
Pendidikan anak bukanlah persoalan biasa dan sepele. Mendidik anak bukanlah semata karena persoalan anak adalah sebagai investasi keluarga atau bahkaninvestasi sebuah negara sekalipun. Anak merupakan bagian dari hidup orang tua, sehingga sudah seharusnya kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua. “Ternyata, anak-anak itu lebih banyak memberi daripada menerima” , seperti ungkapan Hernowo dalam buku Steven W. Vanoy yang berjudul 17 Anugrah Terindah Untuk Orang TuaSenyuman anak adalah ‘alat Rabbani’ yang ampuh dan mampu untuk menghapuskan segala kepenatan kerja keras sang orang tua.Ya, senyumannya merupakan cermin jernih bagi jiwa yang jernih, dan inilah yang mampu memberikan energi luar biasa bagi orang tua, sehingga orang tua manapun akan selalu ingin memberikan yang terbaik demi kebahagiaan sang anak.


Oleh karena itu, sudah tentu warna pendidikan anak akan ditentukan oleh “sentuhan” pendidikan yang diperankan oleh orang tua kepada sang anak. Merupakan suatu kemuliaan bagi orang tua di dalam mendidik, mempersiapkan dan membina anak-anak dalam mencapai keberhasilan dan kesuksesan yang paling besar bagi kehidupan anak-anak dimasa depan. Menpunyai anak berarti membuat suatu komitmen dengan mereka, dengan diri sendiri dan dengan hari depan.

Bagaimana mendidik anak dalam perspektif psikologi Islam?
Keutamaan mendidik anak dalam Islam sebagaimana keutamaan Islam dalam mengubah umat manusia dari kebodohan, kegelapan syirik, kesesatan, dan kekacauan menuju tauhid, ilmu hidayah dan ketremtaman. Sebagaimana Islam telah memberi metode yang tepat dan sempurna dalam pendidikan rohani, pembinaan generasi, pembentukan umat, dan pembangunan budaya, serta penerapan prinsip-prinsip kemuliaan dan peradaban umat manusia menuju semesta alam.

Pembentukan keimanan yang kokoh pada diri anak perlu adanya aplikasi pendidikan Islam secara konkret yang diciptakan orang tuanya dan keluarga. Kepribadian anak dibentuk oleh sistem pendidikan yang diperankan orang tua. Jadi keteladanan sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku dan sikap anak. Keteladanan orang tua harusnya menjadi sosok yang patut diteladani dalam penanaman nilai-nilai keislaman. Keteladanan harus ditumbuhkan dan diciptakan dalam rumah. Jadikan rumah sebagai sekolah tempat  mendidik anak-anak. Sejatinya, adalah tugas orang tua membantu sang anak untuk menemukan jati dirinya, mengarahkan, mengembangkan dan memberdayakan sehingga anak akan membawa pada hidayah, taufiq dan Ridho Allah SWT, menjadi anak shalih dan shalihah.

Mendidik Anak Bukan Hanya Sekedar Sejak Dalam Kandungan Saja
Berbicara mengenai pendidikan anak dalam Islam sebenarnya bukan sekedar dimulai dari kelahiran anak atau ketika dalam kandungan saja. Miftahul Asror dalam bukunya “ Mencetak anak berbakat : Cerdas Intelektual dan Emosional” menyebutkan bahwa pendidikan anak dimulai dari fase prakonsepsi yaitu ketika seseorang mencari patnership suami atau istri. Saat itu hakikatnya ia sudah merencanakan bagaimana nantinya akan mendidik anak. Pada fase prakonsepsi ini, Islam mengajarkan agar memilih pasangan hidup yang didasarkan pada “agamanya” bukan karena kecantikan, kedudukan atau harta. Seperti hadist yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Nabi SAW, bersabda: “ Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab barangkali kecantikannya dapat merusakakannya, dan jangan pula karena hartanya, sebab barangkali hartanya dapat menjadikannya durhaka, dan nikahilah wanita itu karena agamanya, dan sesungguhnya budak sahaya yang hitam dan rusak telinganya, tetapi beragama (Islam) itu lebih baik”(HR> Ibnu Majah Dan Al-Bazzar).

Begitu pula setelah terbentuknya keluarga, hendaknya memakan dari rezeki yang halal, karena semua makanan yang masuk dalam perut akan membawa dampak perkembangan anak baik fisik maupun psikis. Sebagaimana sabda Nabi SAW.” Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih pantas baginya (HR. Tirmidzi).” Disamping itu, ketika suami-istri hendak berkumpul (bersenggama), Islam sangat menekankan agar tetap menjaga kesopanan dengan “nuansa” Islami dengan berdoa agar di karuniai anak yang sholeh.

Demikian dari fase prakonsepsi adalah fase pranatal atau fase dalam kandungan. Pendidikan pada fase ini adalah suatu upaya pendidikan yang dilakukan oleh calon ayah dan ibu saat bayi masih berada di dalam kandungan. Sentuhan religius pada anak juga sudah harus diberikan pada fase ini. Menurut Rene Van de Carr, bahwa janin dalam kandungan sudah dapat mendengar sejak usia 18 minggu. Karenanya pengenalan Al-Khalik sudah dapat dilakukan pada fase ini. saat sedang mengandung seorang ibu disunnahkan banyak berdzikir, membaca Al-Quran dan menjauhi mejelis-majelis ghibah agar yang didengar anak sejak dalam kandungan adalah yang baik-baik.

Banyak cerita tentang keadaan emosional ibu mempengaruhi janin (Santrock, 2002). Seorang ibu hamil hendaknya menjaga kondisi emosionalnya agar memberikan efek yang baik bagi janinnya. Ibu yang sedang hamil dapat berbicara kepada bayi yang di dalam kandungan dengan sedikit mengeraskan suara ke bayi. Seoarang Ibu dapat merasakan kata-katanya melalui getaran dan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Karena itu, dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya hendaknya mengikutsertakan sang anak. Misalnya “ Sayang, ini bunda mau membaca Al-Quran. Dengarkan ya?”. Atau “Nak, ini ibu mau sholat,yuk sholat bareng Ibu ya?”. Komunikasi seperti ini akan mempengaruhi kondisi anak. Bukan hanya itu, ayah pun dapat memberikan sentuhan Islam dan mengenalkan Sang Khalik sejak masih dalam kandungan ibunya. Ia dapat menempelkan pipi pada perut ibu pada posisi kepala bayi. Misalnya seorang ayah dapat mengucapkan “Assalamu’alaikum sayang, ayah pergi ke kantor dulu ya? mudah-mudahan Allah melindungi kita semua ya?” atau “Anak sholeh, jangan makin pintar ya?” Seorang Ayah juga dapat bertilawah al-Quran didekat si istri yang sedang mengandung supaya bayi dapat turut mendengar lantunan ayat-ayat Allah.

Sesudah fase pranatal adalah fase postnatal atau kelahiran bayi itu sendiri. Pengenalan asma Allah, penanaman dasar akidah tauhid dan iman kepada Allah, sudah dapat dilakukan dengan mengadzankan di telinga kanan dan mengiqomahkan di telinga kirinya, sebagaimana hadist berikut : ” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi SAW telah mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali (yang kanan) ketika ia baru dilahirkan dan mengumandangkan iqamat di telinga kirinya”.  Hal ini dimakdudkan agar yang suara pertama kali diterima adalah pendengarannya tentang kalimat kalimat seruan Yang Maha Tinggi yang mengandung kebesaran Allah (Nashih Ulwan, 1994). Mengenalkan asma Allah semenjak bayi merupakan bagian dari pendidikan akidah tauhid sekaligus akhlak kepada anak. Seseorang yang bertauhid secara benar sudah pasti akan berakhlak mulia.

Tips dan kiat lain menurut Mistahul Asror masih banyak yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mendekatkan anak pada Allah, asahlah “dzauq” (kehalusan getaran batin) orang tua. Jadikan lantunan-lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, bacakan hadist dan dzikir dengan Asma Allah sebagai penenang kalbu anak. Jangan jadikan kehadiran bayi sebagai alasan mengganggu jadwal orang tua untuk bertilawah Al-Qur’an. Justru membaca Al-Qur’an sekarang menjadi bagian upaya menanamkan aqidah tauhid pada anak.

Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak
Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” (Pendidikan Anak dalam Islam) menyebutkan bahwa ada 7 hal yang menjadi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak yaitu :

Pertama, Tanggung Jawab Pendidikan Iman
Tanggung jawab pendidikan iman adalah bagaimana memberikan pemahaman menyeluruh tentang pendidikan iman sehingga anak akan terikat dengan Islam, baik akidah maupun ibadah. Mengenal Islam sebagai agamanya, Al-Qur’an sebagai imannya dan Rosulullah SAW sebagai pemimpin teladannya. Menyuruh anak untuk beribadah ketika memasuki usia tujuh tahun, mengenalkan Allah lewat alam, meneladani asma’ul Husna dan mendidik untuk mencintai Rosul, keluarganya dan melatih serta membiasakan membaca Al-Qur’an.

Kedua, Tanggung Jawab Pendidikan Moral
Pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak dini hingga dewasa. Pribadi yang berakhlak akan melandassi kepribadian anak secara keseluruhan. Orang tua dapat menanamkan kebiasaan akhlaqul karimah dengan memberikan keteladanan, harus terlebih dahulu menjadikan perbuatan-perbuatan baik sebagai kebiasaan dan kepribadiannya sehari-hari sehingga mudah dicontoh oleh anak-anaknya

Ketiga, Tanggung Jawab Pendidikan Fisik.
Tanggung jawab pendidikan fisik adalah pendidikan yang diberikan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah dan bersemangat.Pemenuhan gizi anak amatlah penting. Terutama di usia 0-20 tahun merupakan masa pertumbuhan. Karenanya berikan pendidikan fisik dengan menyesuaikan tahapan-tahapan pertumbuhan anak. Orang tua hendaknya membiasakan anak berolah raga dan bermain ketangkasan agar fisiknya dapat tumbuh kuat.



Keempat, Tanggung Jawab Pendidikan Rasio
Pendidikan rasio (akal) adalah membentuk (pola) pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti imu-ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan peradaban, dengan kata lain pendidikan yang menyangkut kecerdasan Intelektual (IQ). Dr. Benyamin S. Bloom, Professor of Education, University of Chicago menyatakan Golden Years of Intellectual Development terdapat pada anak dengan rentang usia 0 sampai 4 tahun, sekitar 50%. Sedangkan usia 8 tahun mengalami penurunan 30% dan usia 18 tahun hanya mencapai 20% saja. Dan Dr. Keith Osborn, Professor of Child Development, University of Georgia menyatakan bahwaperkembangan intelektual dari usia kelahiran sampai dengan 4 tahun sama besarnya dengan rentang usia 4 sampai dengan 18 tahun. Sebagaimana yang dikatakan Dr Burton L. White, maka pada rentang usia 0-2 tahun sensor paling efektif yang bekerja saat itu adalah pendengaran dan metode terbaik untuk mengaktifkan sel syaraf otak melalui sensor telinga adalah ‘story telling’. Hal ini dibenarkan dalam Qs. Nahl : 78.
      “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.
Jadi meski tiap manusia mempunyai kapasitas kecerdasan yang sama saat dilahirkan namun pengembangannya kembali berpulang pada sejauh mana orang tua memberikan stimulus pada anaknya, sehingga ketika dewasa skala kecerdasan masing-masing anak akan bervariasi.

Karena itu pemenuhan kebutuhan gizi anak pada usia balita sangatlah menentukan pertumbuhan fisik otak hingga dewasa kelak, keadaan gizi bilamana dapat dicapai tingkat yang lebih tinggi, maka secara fisik dapat lebih mampu untuk menggunakan kapasitas otaknya secara lebih baik.

Miftahul Asror dalam bukunya “Mencetak Anak Berbakat Cerdas Intelektual dan Emosional” memberi tips kepada orang tua untuk meningkatkan kecerdasan anak diantaranya yaitu:
(a)     suasana dalam keluarga yang kondusif
(b)     sikap orang tua yang tidak otoriter
(c)     mendorong anak suka bertanya
(d)     sistem mendidik anak yang menekan pendekatan dorongan daripada larangan
(e)     menghargai setiap prestasi anak
(f)      memebrikan keteladanan
(g)     menghindari hukuman fisik
(h)     mendorong anak untuk berani mencoba, memberi tanggung jawab sesuai kemampuannya

Kelima, Tanggung Jawab Pendidikan Psikologis
Tanggung jawab pendidikan psikologis adalah bagaimana orang tua membina, membentuk dan menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika anak sudah mencapai usia dewasa, ia dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya secara baik dan sempurna.
Jika sejak dini anak-anak dididik dengan cinta dan kasih sayang, mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang mandiri, kreatif, dan penuh percaya diri. Mereka akan memandang dunia secara positif, melangkah penuh percaya diri, merasa aman, mantab dan dapat memecahkan problem dengan pilihan solving yang lebih bervariasi.

Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak
Muhammad Rayid Dimas dalam bukunya “25 Kiat mempengaruhi jiwa dan Akal Anak” menyebutkan bagaimana kiat-kiat dalam mempengaruhi jiwa dan akal anak adalah :
Bersahabatlah dengan anak dan jadilah teladan
Sebagaimana Rosulullah Saw. biasa menemani anak-anak dalam banyak kesempatan. Sikap bersahabat dengan anak memiliki peranan yang besar dalam mempengaruhi jiwa anak.
Tunaikan hak anak.
Rosulullah saw. pernah meminta izin kepada anak kecil yang di sebelah kanannya untuk mengalah dari hak minum, guna memberikannya terlebih dahulu kepada orang dewasa yang ada di sebelah kirinya. Namun, si anak itu ternyata tidak ingin orang lain mendahuluinya meminum air sisa Rosulullah saw. itu. Rosulullah saw. pun kemudian memberikan minuman itu kepada si anak. Alhasil, si anak pun merasa nyaman dalam menikmati haknya. Kita harus memenuhi hak anak jika kita menginginkan anak kita berkembang secara seimbang. Memahami dan berempati kepada anak yang akan menanamkan sikap positif saat dia menghadapi kehidupannya. amarah, cacian dan sikap yang sebaliknya justru dapat memasung dan membunuh jiwa anak dalam menerima kebenaran.
Gembirakan dan hiburlah hatinya
Hal ini akan memunculkan keriangan dan vitalitas dalam jiwa sang anak. Karena juga akan menjadikan si anak selalu siap untuk menerima perintah, peringatan, atau bimbingan apa pun serta mampu mengaktualisasikan kemampuannya dalam bentuknya yang sempurna. Sebagaimana Rosulullah mencontohkan diantaranya dengan menyambut hangat, mencium dan bercanda, mengusap kepala, menggendong dan memeluknya, memberikan makanan yang baik, serta makan bersama mereka.
Gunakan cara “ siapa menang dia dapat”
Kompetisi akan membangkitkan potensi-potensi terpendam yang ada pada manusia, terlebih pada anak-anak. Kompetisi akan memunculkan semangat kebersamaan anak-anak, menjauhkan mereka dari sikap individualistik, dan melatih mereka untuk memahami kehidupan: ada yang menang, ada yang kalah; ada kalanya bisa menjawab, ada kalanya mengalami kebuntuan; kadang-kadang benar kadang-kadang salah. Sangat baik jika anak yang menang diberi hadiah sehingga ia merasa senang dan dihargai. Seperti Rosulullah saat mengajak berlomba lari dengan anak-anak untuk menumbuhkan otot-otot mereka dan membuat tubuh nereka kuat. ‘Abdullah bin Harist mengatakan bahwa Rosulullah saw. membariskan ‘Abdullah, ‘ Ubaidillah, dan banyak anak-anak keturunan Al-‘Abbas lainnya--seraya mengatakan, “Barang siapa lebih dulu sampai kepadaku maka ia mendapat itu dan ini. “ Maka mereka berlomba untuk mencapai punggung atau dada beliau lalu beliau mencium dan memeluk mereka (HR. Imam Ahmad).
Bercengkeramalah dengan anak dan berilah ia mainan
Bercanda dan bercengkerama dengan anak akan  menumbuhkan jiwanya dan mengungkapkan segala sesuatu yang tersembunyi didalamnya. Bermain merupakan upaya tumbuh kembang optimal untuk memenuhi kebutuhan fisik, edukatif, sosial, akhlak, kreativitas, kepribadian, dan solutif pada anak . Menurut C. Garvey dalam “ Play” (Massachusetts: Harvard University Press, 1990) memberikan ciri bermain yang perlu diperhatikan orang tua adalah (1). Menyenangkan, (2) tidak memiliki tujuan, tidak boleh ada intervensi tujuan dari luar si anak yang memotivasi dilakukannya kegiatan bermain, (3) bersifat spontan dan volunteer, (4) bermain berarti aktif melakukan kegiatan, dan (5) memiliki hubungan yang sistematis di luar per-mainan, seperti kreativitas, problem solving, belajar bahasa, peran sosial dan kognitif, dan sebagainya.

Adapun kiat mempengaruhi jiwa dan akal anak yang lainnya berikut ini :
§  Gunakan metode “ apa yang menghalangimu untuk mengatakannya?
§  Tumbuhkan rasa percaya diri
§  Gunakan metode “ dia anak yang paling baik”
§  Motivasikan kebajikan dan wanti-wantikan keburukan
§  Biasakan kebajikan karena kebajikan adalah kebiasaan
§  Perhatikan kecenderungannya
§  Pilih waktu yang tepat untuk menasehati
§  Sampaikan nasehat, tugas, dan perintah secara bertahap
§  Bicaralah terus terang dan tidak bertele-tele
§  Bicaralah sesuai dengan tingkat intelektualisasinya
§  Gunakan metode “ apa kendalamu, nak”
§  Latih, latih, dan latih
§  Tuntun anak untuk meneladani Rosulullah SAW
§  Mendengar Reflektif
§  Doakan untuk kebaikannya, bukan untuk keburukannya
§  Didikalah dengan kasus
§  Isi waktu luangnya dengan hal yang bermanfaat
§  Perbanyak kegiatan yang mengembangkan kecerdasannya
§  Didiklah dengan nasehat
§  Gunakan kisah dan alam untuk menanamkan nilai keutamaan

Sedangkan 2 tanggung jawab yang lain dari 7 hal yang menjadi tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak yang teramat penting & tidak boleh ditinggalkan yaituTanggung Jawab Pendidikan Sosial & Tanggung Jawab Pendidikan Seksual.*)
Keteladanan dalam pendidikan merupakan salah satu sarana penting dan berpengaruh dalam mempersiapkan akhlak anak dan membentuknya secara psikologis dan sosial.
Sekali lagi, dalam mendidik anak faktor keteladanan orang tua yang memiliki pengaruh besar terhadap jiwa anak. Karena yang pertama kali ditiru perilaku anak biasanya adalah perilaku kedua orang tuanya terlebih dahulu. “Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Nasrani, yahudi, atau Majusi” demikian kata Rosulullah Saw.{}

*Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan seksual pada anak akan ditulis dalam bab tersendiri.

TIPS KETELADAN UNTUK ANAK
1.       Keteladanan adalah sarana paling efektif untuk keberhasilan pendidikan.
2.       Anak-anak akan meniru perilaku orang dewasa yang mereka amati.
3.       Jika mereka mendapatkan kedua orang tuanya jujur maka mereka akan tumbuh menjadi orang jujur.
4.       Anak-anak melihat orang dewasa di sekitarnya sebagai sosok ideal. Jadi, ayah dan ibu di rumah atau guru di sekolah, dengan segala perilakunya, akan menjadi contoh yang akan ia tiru.
5.       Memberi contoh yang buruk; sekali saja anak mendengar orang tuanya mengucapkan kata-kata kotor dan menghina; sekali saja anak mendengar ibunya berdusta kepada ayahnya atau sebaliknya, atau salah satunya berdusta kepada tetangganya, cukup untuk menumbangkan nilai kejujuran dalam jiwa anak.
6.       Sekali saja seorang anak mendengar ayahnya memerintah dirinya menjawab telepon dengan mengatakan bahwa ia tidak ada, padahal ada, sekali saja ibunya meminta saudara perempuannya untuk mengatakan hal serupa maka ia tidak mungkin lagi ia belajar tentang kejujuran.
7.       Sekali saja, ia melihat ibunya mengelabui ayah, saudara, atau dirinya maka tidak mungkin ia belajar amanah.
8.       Sekali saja ia melihat ibunya berperilaku rendah maka ia tidak akan dapat belajar akhlak mulia.
9.         Sekali saja ayahnya bersikap kasar kepadanya maka ia tidak akan belajar berkasih sayang dan bekerja sama.

Comments

Popular Posts