ISO 9001 DAN PERINTAH ALLOH UNTUK MENYEMPURNAKAN PEKERJAAN
rangga prawira S.Psi
1 | P r i n s i p D a s a r I S O 9 0 0 1 : 2 0 0 8
PRINSIP DASAR ISO 9001:2008
Pendahuluan
Ketika kita mendengar kata ISO 9001 Sistem Manajemen Mutu,
refleks ingatan kita
terfokus pada setumpuk dokumen dan sebundel tugas yang
bersifat paper work,
bekerja menghabiskan waktu dibelakang meja sambil tak
henti-hentinya mengupdate
data-data lapangan dan menginputnya kedalam table-tabel
excel yang membuat
anda boring, malas melanjutkan dan bete.
Begitulah gambaran yang selama ini ada dibenak kebanyakan
praktisi pabrik, namun
sesungguhnya benarkah anggapan itu ? atau hanya karena
kesalahan persepsi orang
saja ?
Baiklah, dalam catatan ringan ini saya akan mencoba sedikit
mengurai benang kusut
persepsi kita tentang ISO 9001, semoga bisa memberikan
gambaran yang ringkas agar
semangat implementasi ISO 9001 bisa sejalan dengan apa yang
diinginkan standard ini.
DEFINISI DAN SEJARAH ISO 9001:2008
ISO berasal dari kata Yunani
ISOS yang berarti sama, kata ISO
bukan diambil dari
singkatan nama sebuah organisasi walau banyak orang awam
mengira ISO berasal
dari International
Standard of Organization, sama sekali BUKAN. ISO 9001 merupakan
standard international yang mengatur tentang sistem
management Mutu (Quality
Management System), oleh karena itu seringkali disebut
sebagai “ISO 9001, QMS”
adapun tulisan 2008
menunjukkan tahun revisi, maka ISO 9001:2008 adalah system
manajemen mutu ISO 9001 hasil revisi tahun 2008. Pertanyaan
berikut yang muncul,
apakah ISO sering mengalami revisi ? jawabnya : YA. Seiring
perkembangan zaman
dan kemajuan teknologi, terutama semakin luasnya dunia
usaha, maka kebutuhan
akan pengelolaan system manajemen mutu semakin dirasa perlu
dan mendesak untuk
diterapkan pada berbagai scope industry yang semakin hari
semakin beragam. Versi
2008 ini adalah versi terbaru yang diterbitkan pada Desember
2008 lalu.
Organisasi pengelola standard international ini adalah International Organization for
Standardization yang bermarkas di Geneva – Swiss, didirikan
pada 23 February 1947,
kini beranggotakan lebih dari 147 negara yang mana setiap negara diwakili oleh
badan standardisasi nasional (Indonesia diwakili oleh KAN)
Marilah kita
setback sebentar pada bagaimana
sejarah ISO 9001 ada hingga revisi
terakhir tahun 2008.
Sejarah ISO dimulai dari dunia militer sejak masa perang
dunia II. Pada tahun 1943,
pasukan inggris membutuhkan sekali banyak amunisi untuk
perang sehingga untuk 2 | P r i n s i p D a s a r I S O 9 0 0 1 : 2 0 0 8
kebutuhan ini dibutuhkan banyak sekali supplier. Sebagai
konsekuensinya, maka demi
kebutuhan standarisasi kualitas, mereka merasa perlu untuk
menetapkan standar
seleksi supplier. Selanjutnya, 20 tahun kemudian
perkembangan standarisasi ini menjadi
semakin dibutuhkan hingga pada tahun 1963, departemen
pertahanan Amerika
mengeluarkan standar untuk kebutuhan militer yaitu
MIL-Q-9858A sebagai bagian dari
MIL-STD series.
Kemudian standar ini diadopsi oleh NATO menjadi AQAP-1 (Allied
Quality Assurance Publication-1) dan diadopsi oleh militer
Inggris sebagai DEF/STAN 05-
8.
Seiring dengan kebutuhan implementasi yang semakin kompleks, maka DEF/STAN 05-8
dikembangkan menjadi BS-5750 pada tahun 1979.
Atas usulan American National Standard Institute kepada
Inggris, maka pada tahun
1987 melalui International Organization for Standardization,
standard BS-5750 diadopsi
sebagai sebuah international standard yang kemudian dinamai
ISO 9000:1987. Ada 3
versi pilihan implementasi pada versi 1987 ini yaitu yang
menekankan pada aspek
Quality Assurance, aspek
QA and Production dan Quality
Assurance for Testing.
Concern utamanya adalah inspection product di akhir sebuah proses (dikenal
dengan final
inspection) dan kepatuhan pada aturan system procedure yang harus
dipenuhi secara menyeluruh.
Pada perkembangan berikutnya, ditahun 1994, karena kebutuhan
guaranty quality
bukan hanya pada aspek final inspection, tetapi lebih jauh
ditekankan perlunya proses
preventive action untuk menghindari kesalahan pada proses
yang menyebabkan
ketidak sesuaian pada produk. Namun demikian versi 1994 ini
masih menganut system
procedure yang kaku dan cenderung document centre dibanding kebutuhan
organisasi yang disesuaikan dengan proses internal organisasi. Pada ISO 9000:1994
dikenal 3 versi, yaitu 9001 tentang design, 9002 tentang
proses produksi, dan 9003
tentang services.
Versi 1994 lebih fokus pada proses manufacturing dan sangat
sulit diaplikasikan pada
organisasi bisnis kecil karena banyaknya procedure yang harus dipenuhi (sedikitnya
ada 20 klausa yang semuanya wajib di dokumentasikan menjadi
procedure organisasi).
Karena ketebatasan inilah, maka technical committee
melakukan review atas
standard yang ada hingga akhirnya lahirlah revisi ISO
9001:2000 yang merupakan
penggabungan dari ISO 9001, 9002, dan 9003 versi 1994.
Pada versi tahun 2000, tidak lagi dikenal 20 klausa wajib,
tetapi lebih pada proses
business yang terjadi dalam organisasi. Sehingga organisasi
sekecil apapun bisa
mengimplementasi system ISO 9001:2000 dengan berbagai
pengecualian pada proses
bisnisnya. Maka dikenallah istilah BPM atau Business Process
Mapping, setiap organisasi
harus memertakan proses bisnisnya dan menjadikannya bagian
utama dalam quality
manual perusahaan, walau demikian ISO 9001:2000 masih
mewajibkan 6 procedure
yang harus terdokumentasi, yaitu procedure control of
document, control of record, 3 | P r i n s i p D a s a r I S O 9 0 0 1 : 2 0 0
8
Control of Non conforming Product, Internal Audit,
Corrective Action, dan Preventive
Action, yang semuanya bisa dipenuhi oleh organisasi bisnis
manapun.
Pada perkembangan berikutnya, versi 2008 lahir sebagai
bentuk penyempurnaan atas
revisi tahun 2000. Adapun perbedaan antara versi 2000 dengan
2008 secara significant
lebih menekankan pada effectivitas proses yang dilaksanakan
dalam organisasi
tersebut. Jika pada versi 2000 mengatakan harus dilakukan
corrective dan preventive
action, maka versi 2008 menetapkan bahwa proses corrective
dan preventive action
yang dilakukan harus secara effective berdampak positif pada
perubahan proses
yang terjadi dalam organisasi. Selain itu, penekanan pada
control proses outsourcing
menjadi bagian yang disoroti dalam versi terbaru ISO 9001
ini.
8 PRINSIP MANAJEMEN
Seperti dijelaskan diatas bahwa ISO 9001 versi 2000 dan
versi 2008 lebih
mengedepankan pada pola proses bisnis yang terjadi dalam
organisasi perusahaan
sehingga hamper semua jenis usaha bisa mengimplementasi
system management
mutu ISO 9001 ini.
System ISO 9001:2008 focus pada effectifitas proses
continual improvement dengan
pilar utama pola berpikir PDCA, dimana dalam setiap process
senantiasa melakukan
perencanaan yang matang, implementasi yang terukur dengan jelas, dilakukan
evaluasi dan analisis data yang akurat serta tindakan
perbaikan yang sesuai dan
monitoring pelaksanaannya agar benar-benar bisa menuntaskan
masalah yang terjadi
di organisasi.
Pilar berikutnya yang digunakan demi menyukseskan proses
implementasi ISO 9001 ini,
maka ditetapkanlah Delapan prinsip manajemen mutu yang
bertujuan untuk
mengimprovisasi kinerja system agar proses yang berlangsung
sesuai dengan focus
utama yaitu effectivitas continual improvement, 8 prinsip
manajemen yang dimaksud
adalah :
1) Customer Focus :
Semua aktifitas perencanaan dan implementasi system sematamata untuk memuaskan
customer.
2) Leadership : Top
Management berfungsi sebagai Leader dalam mengawal
implementasi System bahwa semua gerak organisasi selalu
terkontrol dalam satu
komando dengan commitment yang sama dan gerak yang synergy
pada setiap
elemen organisasi
3) Keterlibatan semua
orang : Semua element dalam organisasi terlibat dan concern
dalam implementasi system management mutu sesuai fungsi
kerjanya masingmasing, bahkan hingga
office boy sekalipun hendaknya senantiasa melakukan
yang terbaik dan membuktikan kinerjanya layak serta
berqualitas, pada fungsinya
sebagai office boy.
4) Pendekatan Proses
: Aktifitas implementasi system selalu mengikuti alur proses
yang terjadi dalam organisasi. Pendekatan pengelolaan proses
dipetakan melalui 4 | P r i n s i p D a s a r I S O 9 0 0 1 : 2 0 0 8
business process. Dengan demikian, pemborosan karena proses
yang tidak perlu
bisa dihindari atau sebaliknya, ada proses yang tidak
terlaksana karena
pelaksanaan yang tidak sesuai dengan flow process itu
sendiri yang berdampak
pada hilangnya kepercayaan pelanggan
5) Pendekatan System
ke Management : Implementasi system mengedepankan
pendekatan pada cara pengelolaan (management) proses bukan
sekedar
menghilangkan masalah yang terjadi. Karena itu konsep kaizen, continual
improvement sangat ditekankan. Pola pengelolaannya bertujuan
memperbaiki
cara dalam menghilangkan akar (penyebab) masalah dan
melakukan
improvement untuk menghilangkan potensi masalah.
6) Perbaikan
berkelanjutan : Improvement, adalah roh implementasi ISO 9001:2008
7) Pendekatan Fakta
sebagai Dasar Pengambilan Keputusan : Setiap keputusan
dalam implementasi system selalu didasarkan pada fakta dan
data. Tidak ada
data (bukti implementasi) sama dengan tidak dilaksanakannya
system ISO
9001:2008
8) Kerjasama yang
saling menguntungkan dengan pemasok : Supplier bukanlah
Pembantu, tetapi mitra usaha, business partner karena itu harus terjadi
pola
hubungan saling menguntungkan.
Dengan 8 pilar ini diharapkan pelaksanaan ISO 9001:2008
benar-benar menjadi sangat
productive dan effective untuk meningkatkan kinerja
perusahaan dalam mencapai
target-target yang telah ditetapkan.
dalam pandangan islam disebut dengan etos kerja dan berikut dibawah ini etos kerja untuk kualitas mutu yang lebih baik dari sisi moral dan syariat
I. Mukaddimah
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan sorga) kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3)
Al-Qur’an adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
II. Pembahasan
A. Posisi Kerja dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan(at-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah,sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
B. Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain(Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)
III. Penutup
Jihad Sebagai Etos
Ruhul jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak profesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya. Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )
Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalan hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Semangat inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS) serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.
Refference :
1. ISO 9001:2008 Awareness & Implementation, SGS, March
2009
2. ISO 9001:2008 an International Standard for Quality
Management System
3. Nurul Diana Novania, Modul Kuliah Pengendalian Mutu,
Universitas Mercu Buana
4. BLOG WAWAN SETYAWAN
Comments
Post a Comment